BeritavsHobby

TEMPO Interaktif, Jakarta - Gempa Tasikmalaya Rabu lalu tidak memicu tsunami setinggi seperti yang terjadi tiga tahun lalu di Pantai Pangandaran. Tidak ada yang bisa disimpulkan sebelum dilakukan studi pascaseismik di sekitar sumber gempa, tapi yang jelas deformasi atau dislokasi vertikal memainkan peran penting. 



Sejumlah pakar geologi dan geodesi dari Institut Teknologi Bandung; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dihubungi TEMPO sama mengungkapkan itu. Semakin besar deformasi vertikal—bukan horizontal—apalagi kalau sampai ke permukaan, semakin tinggi peluang tsunami.



“Setiap gempa itu memiliki mekanisme yang berbeda-beda. Magnitude tidak bisa apa-apa kalau memang deformasi vertikal tidak terjadi,” kata M. Fauzi, Kepala Bidang Seismik di BMKG.



Fauzi menjelaskan gempa dekat Tasikmalaya pada Rabu hanya membangkitkan tsunami tertinggi satu meter, yakni di pantai Pameungpeuk, Garut. Sedang pada gempa 17 Juli 2006, tsunami yang dibawa gelombang laut pasang bisa merendam setinggi lima meter kawasan hingga 500 meter dari bibir Pantai Pangandaran. “Deformasi vertikal ketika gempa di Pangandaran bisa dipastikan lebih besar,” katanya.



Danny Hilman Natawidjaja, pakar gempa dan paleotsunami dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan kalau karakter laut di atas sumber gempa juga menentukan. Selain memang kekuatan gempa Pangandaran yang lebih besar daripada gempa dekat Tasikmalaya. 



Gempa Pangandaran yang berpusat 150 kilometer sebelah selatan Pameungpeuk terukur 7,8 skala Richter di laut dalam. “Laut dalam, dekat palung, sehingga massa air yang ditumpahkan oleh adanya deformasi vertikal lebih besar,” jelasnya.



Gempa 7,3 Richter dekat Tasikmalaya Rabu lalu disebutnya berada di bawah laut yang lebih dangkal. “Paling cuma ratusan meter,” katanya. 



Tim peneliti dari Kelompok Geodesi Institut Teknologi Bandung sebenarnya pernah meneliti kondisi pascaseismik pascagempa Pangandaran 2006. Mereka mengungkap model gempa slow slip yang menyebabkan getaran lemah saja bisa menyebabkan tsunami.



Karakter ini berbeda dengan tipikal zona subduksi di pesisir barat Sumatera yang merekat kuat. Menurut Hasanuddin Z. Abidin, ketua kelompok itu, patahan Gempa Pangandaran, dan Banyuwangi 1994 lalu, justru mirip model di Jepang. “Kelihatan locking-nya itu loose. Dia bergerak, mendisplace air menjadi tsunami, tapi tidak terasa,” jelasnya.



Hasanuddin tidak bisa memastikan apakah sistem locking yang sama tidak berlaku di sumber gempa Tasikmalaya, meski jaraknya yang hanya 300 kilometer. “Kami harus menelitinya dulu,” katanya.

Artikel Terkait: